Oleh Anggun Mayasari
(1)
Kau adalah sebuah mimpi. Dengan segala mimpi dan imajinasi di kepalamu. Kau juga yang mengetahui tentang nyata. Tentang bagaimana caranya untuk tidak lupa bernafas. Sedang aku sebenarnya adalah dirimu. Namun kau sering kali meninggalkanku di setiap perjalananmu.
Sebelumnya kau sentuh punggung tanganku. Mungkin hangat bagimu. Mungkin seperti bir yang baru saja mengalir di antara kita. Tapi ujungnya datang juga. Malam melilitkan dingin yang sangat, apalagi di Jogja, yang semakin mekar embun-embunnya.
Nafasmu menembak jelas leherku. Hampir mati aku dibuatnya. Bukan lagi permainan yang itu, lain lagi, katamu.
“Ayo kita berlomba,” katamu saat itu.
“Lomba?”
“Ya. Berlari.”
Tanpa peluit dari wasit, kau mulai begitu saja. Kau tubruk semua meja bar, botol-botol, mobil yang terparkir, hingga sampai di timur sana, kau lenyapkan pagi. Sutradara membiarkanmu melakukannya. Ia mungkin terlalu tidak mampu mencegahmu; berusaha meng-cut atau menekan tombol pause. Mungkin remotenya berada di bawah sofa, sehingga sulit untuk mencarinya.
Begitulah. Berlari adalah mengawali.
(2)
Satu kali aku tengah menghisap berkas-berkas di sebelah sekat. Heran, papan tipis bisa membedakan gaji sesorang. Tapi tak apalah, alih-alih membunuh iri yang menggerayap.
Bukan soal mudah membawamu ke dasar tumpukan kemeja. Atau menumpahkanmu bersama pikiran yang terjaga. Aku frustasi nyaris mati.
Dan apakah kau tahu? Aku telah memutuskan sesuatu. Aku tidak lagi harus meminta kau yang memutuskan. Sayang kau melewatkannya.
Kau tak melihatku hari itu. Di mana aku dan sepatuku menginjak udara. Yang sebelumnya kuawali dengan serangkaian gerakan kecil. Kuputuskan ketika itu juga aku akan mencoba meraih segalaku.
Aku berlari. Sepertimu. Dengan pijakan terakhir di tepi balkon. Selanjutnya aku merasakan dengan jelas apa itu berlari. Bagiku, berlari adalah mengakhiri semuanya.
0 comments:
Posting Komentar